Posts Tagged ‘sektor informal’

Hallo kawan . . .

January 4, 2010

Menata Sektor Informal Perkotaan

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Pedesaan dan Perkotaan

pada Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, FE Universitas Brawijaya)

Disusun oleh :

Mus Mualim                                   0820214006

Bin Raudha A. Hanoeboen            0820214001

Program Studi Magister Ilmu Ekonomi

F a k u l t a s   E k o n o m i

Universitas Brawijaya

Malang 2009

Latar Belakang

Istilah “sektor informal” biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Sektor informal di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses evolusi daripada dianggap seagai sekelompok perusahaan yang berskala kecil dengan masukan-masukan (inputs) modal dan pengelolaan (managerial) yang besar (Sethurahman, 1996).

Kota-kota utama di negara sedang berkembang, seperti Indonesia, memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi dan berkontribusi terhadap tumbuhnya tenaga kerja informal (Riddel, 1997; Lyons and Snoxell, 2005). Di negara-negara Afrika, sektor informal diperkirakan menyediakan lapangan kerja sekitar 60% dari lapangan kerja yang tersedia dan lebih dari 90 persen pada tahun 2000 (Charmes, 2000). Sebagian besar merupakan home working dan PKL (ILO, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa peran sektor informal masih sangat besar dalam menggerakan perekonomian kota.

Di Indonesia aktifitas yang sering didefiniskan sebagai sektor informal ini antara lain adalah: pedagang kaki lima, pedagang asongan, penjual jasa semir sepatu, penyedia payung di waktu hujan, penjual air dorongan, pembantu parkir tak berseragam.

Selain kenyataan bahwa sektor informal bisa menjadi katup penyelamat dan mendorong pertumbuhan ekonomi perkotaan, sektor informal juga menjadi salah satu penyebab persoalan penataan ruang dan ekonomi perkotaan.

Adanya sektor informal di perkotaan secara umum sebenarnya juga menunjukkan adanya ketidakefisienan ekonomi perkotaan. Pada masalah perparkiran misalnya, kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya bisa mendapatkan pemasukan yang sangat besar dari perparkiran yang saat ini lebih banyak dilakukan oleh sektor informal. Informasi yang belum dikonfirmasikan menyatakan bahwa di Bandung uang yang didapatkan dari perparkiran ini bisa mencapai lebih dari 4,5 – 5 Milyar Rupiah setahun. Hal yang sama juga terjadi pada aktifitas perdagangan informal. Retribusi informal yang dikenakan kepada pedagang kaki lima oleh preman-preman bisa mencapai angka yang hampir sama dengan perparkiran dalam setahunnya.

Keadaan itu juga menunjukkan ada distribusi pendapatan yang tidak merata. Preman, ataupun apapun namanya yang mengelola secara informal pelaku sektor informal ini menerima uang yang sangat besar jumlahnya sementara pelaku sektor informal bisa dikatakan tidak menerima peningkatan pelayanan apapun dari kota, selain “keamanan” pelaku sektor informal dari perusakan.

Dari sisi konsumen, sebenarnya tidak pula semua diuntungkan dengan harga murah, karena untuk beberapa jenis jasa tertentu konsumen dari sektor informal ini sebenarnya membayar lebih mahal. Sebagai contoh adalah konsumen air bersih dari penjaja air informal. Konsumen untuk jenis ini sangat dirugikan oleh ketidakmampuan pemerintah kota menyediakan air bersih.

Banyaknya sektor informal dalam bentuk penyedia barang; yang dilakukan dengan cara membuka lapak ataupun menjaja dalam kereta dorong, seringkali menjadikan kesemrawutan pada ruang-ruang kota. Jika mereka ini menjajakan secara sembarangan dipinggir jalan, maka yang terjadi adalah kemacetan. Lagi-lagi keadaan ini menyebabkan pemborosan yang besar, baik dilihat dari segi energi dan waktu.

Ketidakteraturan seperti itu tidak hanya menyebabkan kemacetan tetapi juga pemandangan yang tidak baik dan seringkali sektor informal seperti ini menyebakan kerusakan lingkungan dengan buangannya yang sembarangan. Pedangang Kaki Lima sebagai salah satu bentuk aktifitas sektor informal ini juga seringkali mengganggu pejalan kaki karena menutupi jalan yang seharusnya dipakai oleh pejalan kaki.

Selain berbagai masalah yang dikemukakan diatas, kehadiran sektor informal di perkotaan juga menimbulkan dampak-dampak pada sejumlah hal penting seperti masalah kesehatan kota, kelestarian lingkungan dan persoalan sosial politik.

Tinjauan Teoritis

Karena luas dan kompleksnya sektor informal, batasannya sulit dirumuskan secara tegas. Tetapi, mereka yang bekerja sebagai tukang becak, pedagang kaki lima, pedagang keliling (jajanan, dsb.), penyemir sepatu, pedagang asongan, pedagang warung, pembantu rumah tangga, loper koran, sopir/kernet, pengamen, tukang sampah, tukang catut, penjahit, kuli bangunan/pasar, tukang patri, pemulung atau pengemis, dengan mudah dapat digolongkan sebagai pekerja sektor informal.

Keith Hart adalah orang pertama yang melontarkan gagasan tentang sektor informal secara eksplisit. Hart membagi orang yang bekerja di perkotaan menjadi tiga kelompok, yaitu formal, informal sah dan informal tidak sah. Masing-masing kelompok dibedakan menurut kegiatan yang dilakukan individu, jumlah pendapatan serta kontribusi pengeluarannya. Kegiatan kelompok informal dicirikan oleh: pendidikan formal yang rendah, modal usaha kecil, upah rendah, dan usahanya berskala kecil.

Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh ILO lewat berbagai studinya di dunia ketiga. Beberapa ciri baku kegiatan sektor informal menurut ILO ada 6 : (1) seluruh aktivitasnya bersandar pada sumberdaya sekitar; (2) skala usahanya relatif kecil dan merupakan usaha keluarga; (3) aktivitasnya ditopang oleh teknologi tepat guna dan bersifat padat kary a; (4) tenaga kerjanya terdidik atau terlatih dalam pola-pola tidak resmi; (5) seluruh aktivitasnya berada di luar jalur yang diatur pemerintah; (6) aktivitasnya bergerak dalam pasar sangat bersaing.

Banyak keberatan kemudian diajukan terhadap konsep sektor informal versi Hart maupun ILO. Cirinya yang terbelakang (marjinal) serta penggunaan standar sektor formal, dianggap mengundang kerancuan. Kegiatan pengemis misalnya, dianggap sebagai fenomena sektor informal karena karakteristik keterbelakangannya. Padahal, hasil penelitian Kompas menunjukkan bahwa kegiatan mengemis mempunyai keteraturan kerja, tingkat pengorganisasian yang rapi, tingkat upah yang cukup tinggi (seorang pengemis “ahli” dapat meperoleh gaji sebesar Rp 200.00,- per bulan), adanya keahlian dan ketrampilan khusus (penampilan diri dirubah sedemikian rupa sehingga orang merasa kasihan) serta tidak mudah dimasuki oleh orang lain. Gambaran ini menunjukkan bahwa sangatlah sulit memberikan batasan yang tegas terthadap sektor informal.

Portes dan Catells (1995:20) mengajukan defenisi sektor informal sebagai proses perolehan penghasilan diluar sistem regulasi. Istilah ini merupakan suatu ide akal sehat (common sense nation) yang karena batas-batas sosialnya terus bergeser, tidak dapat dipahami dengan definisi yang ketat. Mereka melihat bahwa sektor informal sebagai suatu proses perolehan penghasilan mempunyai ciri-ciri sentral yaitu tidak diatur oleh lembaga-lembaga sosial dalam suatu lingkungan legal dan sosial. Menurut mereka batas- batas ekonomi informal bervariasi secara substansial sesuai dengan konteks dan kondisi historisnya masing-masing.

Sethurahman (1996:90) mengemukakan istilah sektor informal biasanya digunakan untuk mengajukan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Alasan berskala kecil karena:

  1. Umumnya mereka berasal dari klangan miskin,
  2. Sebagai suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di Negara berkembang,
  3. Bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan untuk memperoleh keuntungan,
  4. Umumnya mereka berpendidikan sangat rendah,
  5. Mempunyai keterampilan rendah,
  6. Umumnya dilakukan oleh para migran.

Dipak Mazundar memberikan definisi sektor informal sebagai pasaran tenaga kerja yang tidak dilindungi. Dikatakannya bahwa salah satu aspek penting dari perbedaan antara sektor informal dan informal sering dipengaruhi oleh jam kerja yang tidak tetap dalam jangka waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya hubungan kontrak kerja jangka panjang dalam sektor informal dan upah cenderung dihitung per hari atau per jam serta menonjolnya usaha mandiri.

Jan Breman tanpa memberikan batasan istilah yang jelas tetapi membedakan sektor formal dan informal yang menunjuk pada suatu sektor ekonomi masing-masing dengan konsistensi dan dinamika strukturnya sendiri. Sektor formal digunakan dalam pengertian pekerja bergaji atau harian dalam pekerjaan yang permanen meliputi:

  1. Sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan yang merupakan bagian dari suatu struktur pekerjaan yang terjalin dan amat terorganisir.
  2. Pekerjaan secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian,
  3. Syarat-syarat bekerja dilindungi oleh hukum

Wirasarjono mengemukakan cirri-ciri umum sektor informal adalah : Umumnya bekerja tanpa bantuan orang lain atau bekerja dibantu anggota keluarga ataupun buruh tidak tetap yang kebanyakan mereka bekerja dalam jam kerja yang tidak teratur dan jumlah jam kerja di bawah kewajaran, melakukan sembarangan kegiatan yang tidak sesuai dengan pendidikan atau keahliannya.

Berdasarkan berbagai pendapat dan beberapa penelitian terdahulu dapat disampaikan bahwa konsep sektor informal lebih difokuskan pada aspek-aspek ekonomi, aspek sosial dan budaya. Aspek ekonomi diantaranya meliputi penggunaan modal yang rendah, pendapatan rendah, skala usaha relatif kecil. Aspek sosial diantaranya meliputi tingkat pendidikan formal rendah berasal dari kalangan ekonomi lemah, umumnya berasal dari migran. Sedangkan dari aspek budaya diantaranya kecenderungan untuk beroperasi diluar sistem regulasi, penggunaan teknologi sederhana, tidak terikat oleh curahan waktu kerja. Dengan demikian cara pandang di atas tentang sektor informal lebih menitik beratkan kepada suatu proses memperoleh penghasilan yang dinamis dan bersifat kompleks. Di samping aspek-aspek di atas, kehadiran sektor informal dapat dilihat dari dua segi yaitu segi positif dan segi negatif. Segi positif diantaranya mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, kemampuan menyerap angkatan kerja yang sekaligus sebagai katub pengaman terhadap pengangguran dan kerawanan sosial, menyediakan kebutuhan bahan pokok untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan dari segi negatifnya adalah mengganggu lalulintas, mengganggu keindahan kota dan mengganggu kebersihan.

Berdasarkan berbagai pendapat seperti telah diuraikan di atas, maka ciri-ciri kegiatan sektor informal dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Manajemennya sederhana,
  2. Tidak memerlukan izin usaha,
  3. Modal rendah,
  4. Padat karya,
  5. Tingkat produktivitas rendah,
  6. Tingkat pendidikan formal biasanya rendah,
  7. Penggunaan teknologi sederhana,
  8. Sebagian besar pekerja adalah keluarga dan pemilikan usaha oleh keluarga,
  9. Mudahnya keluar masuk usaha,
  10. Kurangnya dukungan dan pengakuan pemerintah.

Dampak Keberadaan Sektor Informal

  1. 1. Tata Ruang Kota

Menyediakan ruang untuk sektor informal secara cuma-cuma tidak akan menyelesaikan masalah. Karena jika disediakan ruang untuk 100 pelaku sektor informal misalnya, maka akan sangat sulit untuk menahan pelaku yang ke 1001 atau 1002 untuk tidak juga masuk ke dalam ruang yang disediakan. Cara menata ruang dengan hanya menyediakan ruang tanpa mengorganisasikan pelaku sektor informal sangat tidak disarankan.

Menata ruang kota untuk sektor informal sangat penting, namun penataan ini harus pula diikuti dengan pengorganisasian pelaku sektor tersebut untuk kemudian ditempatkan kedalam ruang ruang yang disediakan. Dengan cara seperti ini mereka akan mampu menjaga supaya pelaku baru yang tidak tercatat dan tidak terorganisasi akan masuk dan menambah kepadatan pada ruang yang disediakan.

Namun demikian yang juga sangat penting selain dari menata ruang dan mengorganisasikan pelaku sektor informal adalah mnyediakan lapangan pekerjaan di sektor formal. Pemerintah kota, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Pusat harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan formal yang besar yang dapat menyerap kelebihan angkatan kerja.

Bagaimanapun, tanpa penyediaan lapangan kerja formal yang cukup, sektor informal ini akan terus ada dan terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja. Dan jika ini terus terjadi, maka seberapapun besarnya ruang kota yang disediakan untuk pelaku sektor informal ini tidak akan pernah cukup. Oleh karenanya diperlukan perencanan fisik dan non fisik secara terintegrasi.

  1. 2. Penyerapan Tenaga Kerja

Di balik penampakannya yang terlihat ‘terbelakang’, sektor informal mempunyai dua dimensi kekuatan. Pertama, sektor informal mempunyai kekenyalan dan kemampuan menyerap luberan tenaga kerja. Kekuatan ini telah menempatkannya sebagai sektor ekonomi y ang berfungsi sebagai “katup pengaman” dalam struktur perekonomian negara. Sektor informal juga dipandang dapat berfungsi efisien menggantikan fungsi produksi-konsumsi sektor formal, terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat golongan bawah. Kedua, sektor informal mempunyai kemampuan meredam gejolak kegelisahan dan ketidakpuasan angkatan kerja yang tidak tertampung di sektor formal. Meskipun kemampuannya sebagai’stabilisator politik’ ini pada kenyataannya lebih untuk memenuhi kepentingan pemerintah dan kaum kapitalis yaitu untuk melestarikan kelancaran investasi dan akumulasi modal di sektor formal.

Peran sektor informal kota sangat strategis sebagai katup pengaman pengangguran. Di berbagai kota besar, ketika situasi krisis melanda Indonesia dan pengangguran terjadi di mana-mana, maka peluang satu-satunya yang dapat menyelamatkan kelangsungan hidup jutaan korban PHK dan pengangguran dari desa adalah sektor informal. Di Jakarta, misalnya, sektor informal yang ada menurut survei BPS DKI Jakarta ternyata mampu menyerap 193 ribu tenaga kerja (Koran Tempo, 13/2 dalam Suyanto, 2006). Informal sektor di Indonesia memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyerapan tenaga kerja.

Menurut laporan yang disusun oleh World Bank pada tahun 1993, sektor formal terhitung kurang dari 32% dari populasi tenaga kerja2. Sementara 68% bekerja di sektor informal. Sethurahman juga telah melakukan studi komprehensif tentang sektor informal di Indonesia. Berdasarkan studi tersebut, pada awal tahun 1980-an, kontribusi pekerja informal sektor di bidang manufaktur sebesar 48% dan di bidang perdagangan dan restaurant 0%. Keseluruhan pekerja informal sektor adalah 53,8 % dari total jumlah pekerja. Penemuan ini juga menguatkan studi sebelumnya, yang menyebutkan sejak awal 1980-an, 53,4 % pekerja di bidang non-pertanian termasuk dalam informal sektor.

Pertumbuhan ekonomi selama pembangunan jangka panjang pertama berkisar antara 5-8 persen per tahun, proporsi pekerja sektor informal, khususnya di perkotaan cenderung meningkat. Pada 1971 proporsi pekerja sektor informal terhadap jumlah angkatan kerja di kota mencapai sekitar 25 persen. Angka ini meningkat menjadi sekitar 36 persen pada 1980 dan menjadi 42 persen pada tahun 1990. Tahun 2000 angka tersebut menjadi sekitar 65 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor informal masih cukup dominan menyerap angkatan kerja khususnya di perkotaan. Selain itu perkembangan ekonomi belum dapat mengatasi persoalan klasik keterbatasan peluang kerja (Firnandy, 1998).

  1. 3. Masalah Lingkungan Hidup (Pemukiman Kumuh)

Bagi sebagian besar orang terutama para pengambil kebijakan, rumah kumuh (yang menjadi tempat tinggal bagi sebagian besar pelaku usaha sektor informal) dipandang sebagai suatu masalah terutama dilihat dari sisi penampilan fisiknya. Rumah kumuh selalu menjadi kambing hitam bagi kumalnya wajah kota dan menyiratkan terlalu vulgar tentang kegagalan pembangunan, sesuatu yang haram bagi kebanyakan pemimpin. Lingkungan yang kotor, becek, sanitasi yang buruk, bangunan yang semrawut, penampilan yang jorok, sumur yang tercemar, kepadatan bangunan dan hunian yang tinggi, penggunaan bahan bangunan bekas dan murahan, dan sebagainya, merupakan gambaran umum yang dikaitkan dengan eksistensi rumah kumuh. Disamping itu, dalam rumah kumuh mungkin juga melekat streotipe kriminalitas tinggi dan penyumbang kekacauan kota dan komunitasnya.

Kalau saja kita mau menengok lebih dalam, sesungguhnya rumah kumuh memberikan jawaban hidup bagi orang yang tinggal di dalamnya. Tanpa bantuan sedikitpun dari pemerintah, orang-orang yang tinggal di permukiman seperti ini mampu membangun perekonomian keluarga mereka. Mereka tidak memerlukan kredit perbankan (apalagi menyedot devisa negara), disamping karena tidak memiliki akses juga mungkin karena mereka membutuhkan sistem finansial yang lebih sederhana. Mereka mampu memanfaatkan sumber daya yang amat terbatas agar dapat bertahan di tengah himpitan kerasnya kehidupan kota modern. Kebanyakan di antara mereka mampu mendaur ulang bahan-bahan yang tidak terpakai menjadi sesuatu yang berguna bagi diri mereka sendiri. Secara swadaya, mereka mampu memenuhi kebutuhan akan rumah mereka. Secara ekonomi, permukiman ini juga memasok barang dan tenaga kerja yang murah untuk ikut memutar roda perekonomian kota, terutama dalam sektor informal.

Dalam kaitannya dengan perbaikan kondisi perumahan di perkotaan, maka diperlukan adanya perubahan paradigma. Disamping memiliki masalah terutama dalam hal kualitas lingkungan yang buruk, permukiman kumuh sesungguhnya memiliki potensi untuk dikembangkan dan mempunyai kontribusi yang memadai terhadap pemecahan masalah perumahan dan perekonomian kota.

Pemerintah perlu memikirkan cara-cara baru didalam menangani masalah perumahan, dan mengalihkan sebagian sumber daya untuk intensifikasi dan peningkatan kualitas rumah sewa (rental housing) termasuk rumah kumuh yang selama ini terabaikan. Kaum marginal di perkotaan umumnya tetap membutuhkan perhatian kita bersama, terutama untuk meningkatkan kapasitas dan aksesibilitas mereka terhadap perbaikan kualitas kehidupannya. Negeri dan kota-kota di Indonesia dibangun untuk semua, bukan hanya untuk mereka yang mujur, tetapi juga terutama untuk mereka yang belum beruntung.

  1. 4. Kesehatan

Soekotjo Joedoatmodjo, Ketua Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N), telah melakukan kajian kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dalam perekonomian informal di Indonesia. Mayoritas pekerja dalam perekonomian informal adalah perempuan dan anak-anak, yang bekerja dalam kondisi kerja yang buruk dan dengan jam kerja yang tidak teratur dan upah yang rendah. Para pekerja dalam perekonomian informal di Indonesia dilaporkan menderita malnutrisi (salah/ kurang gizi), penyakit-penyakit akibat parasit (misalnya cacingan), asma, alergi kulit, kanker, keracunan bahan kimia, keracunan makanan, gangguan otot dan tulang, gangguan saluran pernafasan, penyakit-penyakit kelenjar getah bening, penyakit darah, dan lain-lain. Sementara itu, risiko bahaya yang mereka hadapi di tempat kerja antara lain meliputi kebisingan, vibrasi, hawa panas, kurangnya pencahayaan, pemasangan kabel listrik tanpa mengindahkan aspek keselamatan, terhirup debu dan terkena bahan-bahan kimia berbahaya, serta ergonomik yang buruk (Joedoatmodjo, 1999).

Dipaparkan bahwa mayoritas perempuan mempunyai sekurang-kurangnya dua pekerjaan: yang satu di rumah dan yang satunya lagi di luar rumah. Studi-studi kasus tersebut menunjukkan bahwa perempuan kurang mendapatkan pendidikan, kurang mendapatkan perawatan kesehatan, kurang mempunyai waktu luang, dan kurang dihargai dari segi keuangan. Karena itu, perempuan kurang mempunyai kesempatan untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Karena rendahnya status pendidikan dan ekonomi yang mereka miliki, banyak pekerja perempuan masih mengalami masalah-masalah kesehatan yang sifatnya umum seperti malnutrisi (salah/ kurang gizi), anemia, penyakit menular, tekanan darah tinggi, malaria, gangguan penglihatan, kehilangan pendengaran, keracunan pestisida, dan gangguan-gangguan pernafasan. Pekerja perempuan umumnya tidak mempunyai pengetahuan tentang risiko kesehatan dan praktik-praktik kerja yang baik bagi keselamatan dan kesehatan mereka. Lagi pula, tekanan ekonomi seringkali memaksa mereka bekerja tanpa batasan waktu dan waktu istirahat yang cukup untuk memulihkan kondisi tubuh dari kelelahan.

  1. 5. Masalah Sosial Perkotaan

Hasil penelitian Institute of Liberty and Democracy (ILD) di Peru menunjukkan bahwa hambatan yang mengekang kemajuan sektor informal di daerah perkotaan adalah tidak adanya hukum (peraturan) yang mampu melindungi (akomodatif) terhadap sektor ini. Para pedagang kaki lima di Peru misalnya, harus menunggu sampai 12 tahun -sejak pemerintah memutuskan membangun pasar sebagai tempat penampungan mereka- untuk bisa menempati dan memulai usahanya di pasar itu. Ketika mereka bermaksud mengorganisir diri sebagai wirausaha dalam suatu organisasi, mereka harus menunggu kurang lebih 10 tahun. Penyebabnya adalah karena pembentukan organisasi wirausahawan tersebut belum (tidak) mempunyai dasar legalitas.

Sektor informal lalu terkesan sebagai sektor yang berada di luar hukum. Jika kita cermat melihat fenomena sektor informal di Indonesia, maka hasil temuan ILD di Peru tersebut mirip dengan fenomena sektor informal daerah perkotaan di Indonesia. Mereka diburu bagaikan binatang atas nama ketertiban dan keindahan kota.

Permasalahan yang diungkap ILD di atas lalu lebih menyentuh kebijakan politik pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan sektor informal. Menurut Didik J. Rachbini aspek politiklah yang sebenarnya menjadi esensi permasalahan sektor ini. Tetapi, kaum informal di Indonesia secara politis sangatlah apatis. Posisinya yang marjinal dalam struktur politik Indonesia menyebabkan kesadaran dan partisipasi politik kaum ini rendah. Politik pembangunan Indonesia yang teknokratik, telah menempatkan kaum informal lebih sebagai objek ketimbang partisipan. Posisi mereka yang tersubordinasi dan resesif menyebabkan mereka mudah menjadi objek eksploitasi politik berbagai kelompok kepentingan. Lewat proses mediasi politik, kaum informal dimanf aatkanan sebagai sumberdaya pendukung ekonomi sektor formal, misalnya sebagai tenaga kerja (buruh) murah, konsumen atau tenaga pemasar produk barang dan jasa yang dihasilkan kaum kapitalis. Proses politik yang terjadi di sektor ini lalu menjadi suatu pergumulan eksistensial kaum miskin perkotaan menghadapi gelombang besar proses marginalisasi ekonomi (pemiskinan) atas dirinya.

Lemahnya partisipasi politik kaum informal ini bukan hanya karena keawaman dan ketidaktahuan mereka dalam menyalurkan kepentingannya. Tetapi, lebih karena tersumbatnya saluran aspirasi yang ada. Kehadiran lembaga birokrasi dan legislatif justru cenderung mempersulit dan menempatkan mereka pada posisi yang lemah. Kondisi eksploitatif, represif dan subordinatif ini potensial menimbulkan disagregasi dalam masyarakat.

Pemusatan kelompok seperti itu di kota-kota besar dapat membentuk massa rakyat yang berorientasi revolusioner dan mudah terpengaruh provokasi politik. Ketika masyarakat sadar dan melihat proses pembodohan dan pelanggaran otoritas sosial yang diberikannya kepada penguasa (negara) untuk mengusahakan keadilan dan perlindungan hak bagi mereka maka dapat muncul keberangan moral. Keberangan ini akhirnya terakumulasi menjadi suatu perlawanan sosial.

Tetapi, ramalan di atas sulit terwujud, mengingat kaum informal Indonesia saat ini sebagian besar adalah massa pekerja yang belum terorganisir. Semakin jelas terlihat, bentuk pertentangan tidak lagi bersifat dikotomis dan vertikal, melainkan berkembang menjadi pertentangan horizontal yang individualistik dan pragmatis. Eksploitasi terjadi di antara kaum informal sendiri melalui proses seleksi dan kompetisi di pasar kerja. Tukang ojek yang saling berebut penumpang atau pedagang kaki lima yang berebut pembeli adalah contoh pertentangan tersebut.

Menata Masa Depan Sektor Informal Perkotaan

Apa sebenarnya esensi permasalahan di sektor informal? Mau tidak mau, kita harus bersinggungan dengan kebijakan ekonomi-politik negara secara makro. Kebijakan pembangunan selama tiga dasawarsa di Indonesia telah melahirkan kaum miskin perkotaan yang bekerja di sektor informal. Makin menjamurnya pelaku ekonomi di sektor ini, harus disadari merupakan akibat timpangnya proses pembangunan regional, yaitu antara daerah perkotaan dan pedesaan. Kebijakan pembangunan yang dijalankan selama ini sangatlah bias ke perkotaan (sektor modern).

Daerah perkotaan dijadikan tumpuan utama pengembangan ekonomi lewat proyek-proyek industri. Rakyat pedesaan menjadi tidak lebih dari sekedar ‘sapi perahan’ yang terus-menerus diperkosa demi melayani kepentingan kaum kapitalis, birokrat dan kelas menengah di perkotaan (sektor formal). Struktur politik-ekonomi yang berjalan selama ini telah menempatkan sektor inf ormal (hanya) sebagai objek (pelengkap) penderita dalam sistem ekonomi Indonesia.

Selain tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah, kepentingan sektor ini pun luput dari akomodasi pemerintah. Tidak adanya perlindungan hukum, tidak adanya kemudahan mendapatkan fasilitas usaha dan akses terhadap inf ormasi dan modal, tidak adanya kesempatan mengembangkan usaha serta tidak adanya organisasi menyebabkan sektor ini selalu berada dalam posisi yang inferior (jikapun ada hanya sebatas ‘lips service’ atau dilaksanakan dengan setengah hati) Jika permasalahan sektor informal ini mau ditangani secara lebih serius, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah merombak paradigma dan kebijakan pembangunan yang telah dijalankan selama ini. Paradigma dan kebijakan pembangunan – baik di bidang ekonomi dan politik – perlu dikembalikan pada asas serta prinsip keadilan dan kesamarataan. Sehingga proses pembangunan tidak hanya menguntungkan segelintir orang yang dekat dengan poros kekuasaan, tetapi juga mengangkat derajat hidup rakyat kecil.

Studi Kasus :

Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta

Definisi dan Klasifikasi PKL

Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar – pedestrian) yang keberadaannya tidak boleh mengganggu fungsi publik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, fisik visual, lingkungan dan pariwisata (Sidharta, 2002; Perda Kotamadya Surakarta No. 8 tahun 1995.

Istilah Pedagang Kaki Lima (PKL) menurut Sidharta (2002) erat kaitannya dengan istilah di Perancis tentang pedestrian untuk pejalan kaki di sepanjang jalan raya, yaitu Trotoir (baca: trotoar). Di sepanjang jalan raya kebanyakan berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki (5 feet setara dengan 1,5 m). Pada perkembang-an berikutnya para pedagang informal akan menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang Lima Kaki (di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima = PKL).

Berdasar tinjauan di atas PKL tergolong sektor informal. Menurut Wirosandjojo (1985) sektor informal merupakan bagian dari kegiatan ekonomi marginal (kecil-kecilan), yang memiliki ciri-ciri antara lain (a) Pola kegiatannya tidak teratur, baik waktu, permodalan maupun penerimaan ; (b) Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya kecil dan diusahakan berdasar hitungan harian; (c) umumnya tidak memiliki tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya; (d) tidak memiliki keterikaitan dengan usaha lain yang besar; (e) umumnya dilakukaan oleh dan melayani masyarakat yang berpenghasilan rendah; (f) tidak membutuhkan keahlian atau ketrampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan dan ketrampilan kerja; (g) umumnya tiap-tiap satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari kerabat keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama; dan (h) tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan dan perkreditan formal (Wirosandjojo, 1985).

Selain definisi secara umum, Kota Surakarta telah mendefinisikan PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Pada Bab I Ketentuan Umum, dapat diartikan sebagai berikut:

Pedagang Kaki Lima adalah orang yang melakukan usaha dagang dan atau jasa, ditempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan sesuatu, dalam melakukan usaha dagang. Sedangkan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima adalah tempat umum yaitu tepi-tepi jalan umum, trotoar dan lapangan serta tempat lain diatas tanah negara yang ditetapkan oleh Walikotamadya Kepala Daerah. Pada bagian selanjutnya ditegaskan bahwa setiap Pedagang Kaki Lima harus bertanggung jawab terhadap ketertiban, kerapian, keindahan, kesehatan lingkungan dan keamanan disekitar tempat usaha.

Gambar 1

Beberapa type bangunan PKL :

(a) oprokan, (b) tenda, (c) permanen sebagian, dan (d) permanen seutuhnya.

Pemkot Surakarta belum membuat klasifikasi tentang PKL terkait dengan variasi hak dan kewajibannya. Berdasarkan hasil kajian Hukum tentang PKL yang juga dilakukan oleh Pemkot Surakarta pada tahun 2006, perlu dibuat definisi / batasan dan klasifikasi PKL yang mampu menjadi payung penataan dan pengendalian PKL, baik dalam konteks perkembangan fisik visual perkotaan, ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Namun berdasar hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa klasifikasi sebagai berikut :

Menurut Malik (2005), Indrawati, et.al. (2004), Palupi dan Raharjo (2004), Indrawati (2005) dan Indrawati, et.al. (2007), PKL diklasifikasikan menjadi:

a)          Berdasarkan latar belakang ekonominya. Klasifikasi pertama adalah PKL yang benar-benar terpaksa menjadi PKL karena kesulitan hidup. Mereka berdagang dengan warung beroda (dorongan) ataupun bangunan semi permanen di trotoar. Sembari berdagang mereka juga bertempat tinggal di situ, karena tidak ada tempat lain lagi untuk dijadikan tempat tinggal. Kedua, PKL yang berdagang karena masalah ekonomi juga namun mereka telah memiliki tempat tinggal dan simbol hidup modern seperti TV misalnya. Ketiga, PKL yang berdagang karena melihat potensi keuntungan jauh lebih besar dari pada membua toko / warung dibanding jika harus menyewanya. Selain itu juga lebih mudah diakses pembeli.

b)          Berdasar jenis dagangan yang dijual, terdiri dari PKL penjual (a) makanan, (b) pakaian, (c) kelontong, (d) peralatan bekas (klitikan) dan sebagainya.

c)          Berdasar waktu berdagang, terdiri dari PKL yang berdagang pada pada pagi hingga siang hari, pagi hingga sore hari, sore hingga malam hari, malam hingga pagi hari, pagi hingga malam hari dan sepanjang hari.

d)         Berdasar bangunan tempat berdagang, dapat diklasifikasikan menjadi (a) PKL bergerak / movable / dorongan ; (b) PKL tanpa bangunan seperti PKL oprokan / dasaran / gelaran, (c) PKL dengan bangunan permanen (selalu ada setiap saat, baik bentuknya masih tetap maupun udah berubah) dan (d) PKL dengan bangunan non permanen (bongkar pasang).

e)          Berdasar luasan bangunan / tempat berdagang (space use), terdiri dari 7 kelompok yaitu PKL dengan luasan 1-3m2, 4-6m2, 7-9m2, 10-12m2, 13-15m2, 16-17m2 dan lebih dari 18m2.

Penyebaran PKL

Terkait dengan sejarah munculnya peristilahan PKL, dalam perkembangan pola penyebaran PKL juga sangat dipengaruhi oleh aktifitas pedestrian. PKL di pedestrian hampir dijumpai pada semua fungsi kawasan, baik dengan fungsi utama perkantoan, pendidikan, kesehatan, perumahan maupun perdagangan. Secara umum, faktor utama pemicu hadirnya PKL adalah pejalan kaki. Jika kemudian pada kawasan perdagangan muncul banyak PKL, karena di kawasan tersebut lebih banyak pejalan kakinya. Demikian pula jika di sekitar area pabrik banyak karyawan yang berjalan kaki, maka di situpun banyak PKL.

Namun demikian bukan berarti kawasan yang sedikit pejalan kakinya akan steril dari PKL. Terdapat beberapa kawasan yang bukan tempat lalu lalang pejalan kaki, tetapi banyak di huni PKL. Sebut saja PKL di Lapangan Banjarsari –Solo (sebelum relokasi ke Pasar Klitikan di Notoharjo). PKL di tempat ini bukan lagi didatangi sambil lalu atau kebetulan lewat, tetapi menjadi tujuan utama perjalanan para pembeli. Kebanyakan mereka datang dengan kendaraan bermotor, baik roda empat maupun roda dua. Meskipun demikian yang datang dengan menggunakan sepeda ”onthel” (kayuh) maupun berjalan kaki, jumlahnya juga tidak sedikit.

PKL yang berada di area non pedestrian memiliki karakter yang berbeda dengan PKL yang di area pedestrian. Faktor citra dagangan yang spesifik akan menyebabkan pembeli secara khusus mendatangi kawasan PKL ini. Pembeli ini tidak sekedar berlalu (lewat), tetapi menyengaja datang untuk membeli barang dagangan yang spesifik (Indrawati, 2005).

Berdasarkan Absori et.al. (2006), PKL memiliki dimensi kegiatan yang sangat kompleks, baik terkait dengan aspek ekonomi, teknis, sosial, lingkungan maupun ketertiban umum. Beberapa aspek tersebut antara lain (a) PKL sering menggunakan public space (tempat umum) secara permanen seperti trotoar, jalur lambat, badan jalan, bahu jalan, lapangan dan sebagainya; (b) PKL seringkali mengganggu kelancaran lalu lintas; (c) Lahan yang dimanfaatkan oleh PKL sering bertolak belakang dengan aturan peruntukan lahan perkotaan; (d) Limbah PKL sering mengganggu lingkungan dan kebersihan kota; (e) Keberadaan PKL sering mengganggu ketertiban umum, terutama pemakai jalan dan pemakai bangunan formal di sekitar PKL; dan (f) PKL sangat sulit ditata atau diatur.

PKL dan Kemacetan Lalu Lintas

Jaringan jalan merupakan salah satu pembentuk struktur kota, menjadi aspek penting dalam pembangunan wilayah, ekonomi, sosial dan politik. Melalui fungsinya sebagai sarana transportasi, jaringan jalan memiliki keterkaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan perkotaan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, fungsi jalan terdiri dari jalan arteri, kolektor dan primer. Masing-masing fungsi memiliki karakteristik yang jelas baik ditinjau dari geometri jalan, kecepatan lalu-lintas, jenis kendaraan yang lewat, jumlah jalan masuk dan sebagainya.

Tiap ruas jalan memiliki bagian-bagian jalan, di mana masing-masing memliki fungsi khusus. Bagian-bagian jalan terdiri dari:

  1. Ruang manfaat jalan adalah suatu ruang yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan, termasuk jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan terletak di bagian paling luar, dari ruang manfaat jalan, dan dimaksudkan untuk mengamankan bangunan jalan.
  2. Ruang milik jalan (right of way) adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang.

Bedasarkan Permenhub No. 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu-lintas di Jalan, beberapa indikator yang harus dipenuhi dalam transportasi antara lain keamaman, ketertiban dan kelancaran. Kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki seyogyanya menempati bagian-bagian yang telah ditentukan.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian depan, jalan merupakan bagian dari urban space (type koridor). Konsekuensinya, beberapa elemen publik (di luar kegiatan transportasi) juga akan memanfaatkan bagian-bagian jalan ini, termasuk di dalamnya PKL.

PKL senantiasa mendekati tempat-tempat yang menjadi lalu-lalang orang. Lalu lintas kendaraan bermotor dan pejalan kaki sudah tentu menjadi incaran pasar bagi PKL, sehingga bagian-bagian jalan berupa trotoar cenderung ditempati oleh PKL. Bahkan jalur lambat, jalur hijau dan bahu jalan tak luput dari incaran PKL (Indrawati, 2007).

Kemacetan lalu-lintas merupakan permasalahan yang hampir selalu dijumpai pada kota-kota di Indonesia. Kemacetan lalu-lintas berakibat pada bertambahnya waktu tempuh dan biaya operasi kendaraan (user cost) bagi pengguna jalan serta meningkatkan polusi udara. Kota menjadi sangat tidak nyaman. Dalam jangka panjang, akan menghambat perkembangan kota, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan fisik maupun pariwisata (Riyanto, et.al, 2006).

Surakarta sebagai kota terbesar di bagian Selatan Jawa Tengah, juga memiliki masalah yang serius terkait dengan arus lalu-lintas perkotaannya. Berdasarkan pengamatan lapangan maupun kajian yang dilakukan oleh DLLAJ Kota Surakarta tahun 2006, beberapa ruas maupun simpang jalan di kota Surakarta rawan kemacetan. Kondisi tersebut semakin parah menjelang Lebaran. Beberapa ruas dan simpang jalan tersebut antara lain Jl. Slamet Riyadi depan SGM, Jl. A. Yani, Jl. Dr Radjiman, Jl. Jendral Sudirman, Kawasan Pasar Nusukan, Pasar Klewer, Pasar Kembang, Jl. Adi Sucipto depan Gelora Manahan, Coyudan, Singosaren dan sebagainya (DLLAJ Kota Surakarta, 2006). Beberapa ruas jalan tersebut memiliki rasio V/C (volume / kapasitas) cukup besar (mencapai 0,8) dengan kecepatan rata-rata yang rendah berkisar 17 km/jam (DLLAJ Kota Surakarta, 2007).

Jika dicermati lebih lanjut, titik-titik tersebut merupakan kawasan komersial di mana pada bahu jalannya banyak dihuni oleh Pedagang Kaki Lima (PKL). Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Indrawati, et. al (2007), sebagian besar PKL (62,86 hingga 96,44%) menutup penuh trotoar yang ditempatinya. Sangat kecil PKL yang menyisakan trotoar bagi pejalan kaki. Kondisi ini menyebabkan pejalan kaki turun ke badan jalan. Bersama-sama dengan parkir yang ditimbulkannya, pejalan kaki dan PKL menghambat kelancaran lalu-lintas perkotaan.

Gambar 1

Kecenderungan Space Use PKL di jalan raya di Kota Solo

Sumber: Indrawati et.al, 2007

Pada banyak kasus keberadaan PKL juga menjadi katup penyelamat ekonomi kota manakala krisis moneter telah meluluh lantakkan sektor formal. Beberapa penelitian di Jakarta menyebutkan bahwa PKL menyumbangkan sekitar 60% dari total tenaga kerja. Di Jakarta, jumlah mereka yang terserap mencapai 360.000 orang, sedangkan di Jabotabek bisa mencapai 1.800.000 orang pada saat menjelang lebaran (Seturahman, 1995; Azis, 1997 dan CBS; 2001, dalam Mucthar, 2004).

Meskipun menghadapi berbagai kendala, upaya penataan dan pembinaan PKL terus dilakukan. Perhatian Pemkot terhadap PKL ini semakin meningkat dalam era kepemimpinan Jokowi (Joko Widodo, Walikota Surakarta). Dimulai dengan sosialisasi di tahun 2005 yang dilanjutkan dengan realisasi penataan PKL pada tahun 2006, membuktikan kerja keras semua pihak. Relokasi PKL ”Klitikan” dari Lapangan Banjarsari ke bangunan Pasar Klitikan Notoharjo yang megah dan permanen dilengkapi upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya, menunjukkan pendekatan yang humanis dalam penataan PKL. Pembangunan shelter-shelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan Kleco, tendanisasi dan grobagisasi melengkapi upaya penataan PKL dengan pendekatan pemberdayaan melalui fasilitasi bangunan / tempat berdagang.

Kerja keras tersebut telah membawa Kota Surakarta menjadi tempat belajar (studi banding) Pemkab dan Pemkot berbagai wilayah di Indonesia dalam hal penataan PKL. Bahkan dalam peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial secara Nasional 20 Desember 2006 yang dipusatkan di Lapangan Manahan, secara khusus Presiden RI juga memberikan apresiasi yang memuaskan bagi Pemkot Surakarta dalam hal penataan PKL (Solopos, 21 Desember 2007).

Namun demikian, tidak lama berselang banyak pihak-pihak yang mempertanyakan efektifitas kebijakan di atas. Kios dan los pasar yang diperuntukkan bagi PKL di Pasar Klitikan Notoharjo banyak yang kosong, sepi pembeli. Banyak kios yang dijual dan kemudian PKL kembali lagi berjualan di pinggir jalan. Demikian pula dengan shelter yang dibangun, banyak berpindah tangan atau berubah bentuk menjadi bangunan yang semakin permanen. PKL baru terus bermunculan, berharap nantinya akan memperoleh berbagai fasilitas sebagaimana yang telah diberikan saat ini. Konsistensi pengawasan yang lemah memiliki andil yang sangat besar dalam kegagalan penataan ini (Solo Pos, 2 Juni 2007).

Kalimat sinis juga terdengar dari para pelaku transportasi. Keberadaan PKL yang telah mengganggu kelancaran lalu-lintas, perlu ditata lebih baik. Menurut mereka, PKL terlalu dimanjakan. Jika kondisi ini diteruskan, tidak menutup kemungkinan Solo akan berkembang menjadi kota PKL, dan lalu-lintas akan semakin tidak lancar.

Berdasarkan berbagai tinjauan di atas, terlihat bahwa kebijakan penataan dan pembinaan PKL di Kota Surakarta yang diterapkan saat ini belum mampu mengendalikan PKL secara permanen. Fasilitasi bangunan / tempat berdagang dianggap sebagai bentuk legalisasi dan pemanjaan bagi PKL. Sebagaimana yang terjadi di kota Yogyakarta, PKL yang memperoleh berbagai kemudahan dan difasilitasi seringkali bukan type PKL yang benar-benar terpaksa menjadi PKL, tetapi para pedagang (yang relatif telah mapan) yang merasa lebih untung jika dikategorikan sebagai PKL. PKL type ini juga memperoleh keuntungan berupa kemudahan akses bagi pembeli (strategis) dan terbebas dari beban sewa lahan. Para pedagang formal yang menyewa / membayar biaya sewa tempat menjadi sangat dirugikan dengan hadirnya PKL besar sebagai pesaing. PKL dapat menjual dagangannya dengan harga yang lebih murah (Malik, 2005).

Okupasi Public Space oleh PKL

Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kegiatan Pedagang Kaki Lima (PKL). Kehadiran PKL mulai menimbulkan konflik ketika mereka menggunakan / menyerobot ruang-ruang publik yang mereka anggap strategis secara ekonomis, seperti jalan, trotoar, jalur hijau (taman) dan sebagainya. Urban Space yang mestinya berfungsi publik, seringkali diokupasi secara permanen oleh PKL. Pengguna lain kehilangan wadah untuk beraktivitas (Fosterharoldas, 2004).

PKL juga sering menghadirkan masalah lingkungan fisik visual perkotaan. Perkembangan PKL di Kota Surakarta senantiasa identik dengan kekumuhan. Menurut istilah Bapak Bambang Santoso (Kepala Kantor PPKL Kota Surakarta), PKL di Kota Surakarta telah membuat klethe’an di mana-mana (disampaikan pada Forum Seminar Laporan Akhir Kajian Hukum Kebijakan Penataan PKL di Kota Surakarta tahun 2006).

Namun demikian kehadiran PKL tetap diperlukan oleh masyarakat luas. Jenis barang yang dijajakan (makanan, pakaian, kelontong dan sebagainya) senantiasa dicari oleh pembeli. Harganya yang relatif lebih murah dibanding di pertokoan formal, menjadikan PKL sebagai tempat berbelanja alternatif. Selain itu berbelanja di area PKL juga merupakan aktifitas rekreasi yang cukup digemari oleh sebagaian masyarakat kota (kasus: PKL di Malioboro Yogyakarta, PKL Manahan Surakarta dan sebagainya).

PKL dan Informalitas Perkotaan

Pendekatan informalitas Perkotaan dikemukakan oleh Rukmana (2005). Konsep informalitas perkotaan ini tidak terlepas dari dikotomi sektor formal dan sektor informal yang mulai dibicarakan pada awal tahun 1970-an.

Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan.

Oleh karenanya fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam menjelaskan proses transformasi perkotaan diperlukan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL.

Pemahaman ini akan menempatkan sektor informal sebagai bagian integral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL. Hanya saja perlu dicatat bahwa ruang untuk kegiatan PKL ini adalah diperuntukkan bagi kaum miskin yang tidak bisa masuk sektor formal di perkotaan.

Kesimpulan

Sebagai sektor yang eksistensinya tidak terbantahkan dalam ekonomi perkotaan, sektor informal selain menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji lebih jauh dengan pendekatan berbagai disiplin ilmu, namun sektor informal juga menyimpan permasalahan dan potensinya sendiri. Sebagai sektor yang Sangat bebas untuk dimasuki oleh setiap orang, sektor informal menjadi katup pengaman sosial dalam sebuah negara. Artinya, jika sektor ini dikelola dengan baik, maka berbagai persoalan sosial khususnya di perkotaan bisa diminimalisir. Kemampuan menyerap tenaga kerja dengan proporsi yang fenomenal serta ikut menyelamatkan perekonomian negara, dalam waktu bersamaan ternyata tidak diimbangi dengan perlakuan yang adil oleh pemerintah. Istilah ‘penertiban’ yang selalu dikenakan kepada sektor ini lebih sering bermakna penggusuran, pembasmian dan pemiskinan dalam realitanya. Maka perlakuan yang bijaksana baik dari aspek tata ruang kota, legal formal dan ketersediaan city public service bagi sektor ini merupakan langkah bijak menuju wajah ekonomi perkotaan yang lebih humanis.

Daftar Pustaka

Barrington Moore, Injustice: The Social Bases of Obedience and Revolt, ME Sharpe, New York, 1978.

Breeman, Jan C. (1980).”The Informal Sector in Recearch, Theory and Practice Comparative Asian Studies“. Program Publication No. III. Rotterdam.

Charmes, J (1998), “Informal Sector, Poverty and Gender: A Review of Empirical Evidence”, Paper prepared for PREM, World Bank, as contribution to the WDR 2000

Didik J. Rachbini, “Dimensi Ekonomi dan Politik pada Sektor Informal” , Prisma 5, Mei 1991.

Firnandy, 2003, Studi Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan Ke Depan, Direktorat Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi Bappenas. (Accessed on August 30, 2005.

Franck Wiebe, 1996, Income Insecurity and Underemployment in Indonesia’s Informal Sector, Policy Research Working Paper No. 1639 (Washington, DC, World Bank East Asia and Pacific Country Department III, Indonesia Policy and Operations Division).

Hernando D.S. “Pertumbuhan Ekonomi Bawah Tanah di Peru”, Prisma 5, Mei 1991.

J.S. Uppal, 1988, “Informal sector in Jakarta”, in The Asian Economic Review, Indian Institute of Economics, vol. XXX, No. 2.

Joedoatmodjo S; Occupational Safety and Health for the Informal Sector: Seeking better Solutions for Indonesia (Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk Sektor Informal: Mencari Solusi yang Lebih Baik untuk Indonesia); 1999.

Ketih Hart, “Informal Income Opportunities and Urban Employment in Ghana”, Journal of Modern African Studies, 11 (1), 1973.

Little, Ian M. D., Dipak Mazumdar, and John M Page, Jr. (1987). Small Manufacturin  Enterprises: A Comparative Study of India and Other Economies. New York: Oxford University Press for the World Bank.

Lyons, M. & Snoxell, S. (2005b) Sustainable Urban Livelihoods and Marketplace Social Capital: Crisis and Strategy in Petty Trade. Urban Studies, Vol. 42, No. 8.

Mazumdar, Dipak and Dirk van Seventer. A Decomposition of Growth of The Real Wage Rate for South African Manufacturing by Size Class: 1972-1996. IDRC Project: Trade and Industrial Policy Strategies (TIPS 101039). 2003.

Portes, Alejandro, and Manuel Castells and Lauren A. Benton, eds. 1989. The Informal Economy: Studies in Advanced and Less Developed Countries. Baltimore: The Johns Hopkins University Press.

Riddell, R. 2002.“Minorities,Minority Rights and Development.” Issues Paper,November 2002.Minority Rights Group International.

S.V. Sethuraman, The Urban Informal Sector in Developing Countries, ILO, Geneva, 1984.

S.V. Sethuraman, 1997, Urban Poverty and the Informal Sector: A Critical Assessment of Current Strategies (Geneva, International Labour Organization).

Shanti Tangri, “Urbanisation, Political Stability, and Economic Grwoth” dalam Roy Tuner (ed.), India’s Urban future, 1962.

Suyanto, Bagong dan Helmy Prasetyo (Ed). 2003. Penyusunan Program Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan Kota Surabaya Tahun 2003-2005. Pemerintahan Kota Surabaya, Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) Kota Surabaya